Kebijakan Mudik dan Pembiakan Covid19
Kapal laut menjadi salah satu pilihan pavorit bagi para pemudik Natal dan Tahun Baru.
Jakarta, Jurnas.com – Pengamat Kebijakan Publik dan Ekonom Senior INDEF Achmad Nur Hidayat dan Fadhil Hasan mengupas secara cukup dalam tentang problematika kebijakan mudik lebaran di tengah ancaman pandemi Covid-19 atau wabah virus Corona. Berikut ulasannya:
Meskipun ada tekanan dari para ahli kesehatan, Pemerintah mengumumkan tidak melarang mudik, namun menghimbau publik untuk tidak mudik.
Pemerintah menempuh jalur demokratis yang moderat daripada jalur paksaan seperti melarang total sama sekali mudik.
Dalam sisi demokrasi, ini adalah berita baik dan merupakan sinyal bahwa pemerintah memilih cara-cara himbauan daripada paksaan atas nama darurat sipil yang meminimalkan kebebasan dan hak asasi.
Kebijakan mudik sedang dibahas secara komprehensif, dalam pembahasan tersebut Presiden Jokowi meminta para pembantunya membuka opsi mengganti hari libur nasional pada hari lain di luar momen lebaran untuk mencegah publik tidak mudik.
Presiden juga memberikan contoh kebijakan yang bisa diambil yaitu pemerintah daerah bisa menggratiskan tempat wisata di hari pengganti libur lebaran tersebut. Kementerian sosial berniat memberikan bansos khusus untuk meredam warga Jakarta mudik.
Dalam desain kebijakan mudik, juga dilontarkan wacana jika warga tetap mudik maka kewajiban para pemudik untuk melakukan karantina selama 14 hari di tempat mereka mudik.
Apakah usulan-usulan tersebut dapat efektif memutus mata rantai penyebaran CV19 dari tubuh host atau sebaliknya CV19 semakin berkembang biak di host publik lebih banyak lagi?
Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia yang disampaikan oleh sekjennya Anwar Abbas mengatakan mudik ditengah situasi covid19 adalah haram berdasarkan Fatwa nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam situasi terjadi wabah COVID-19.
Mudik atau keluar dari daerah yang terkena wabah atau pun memasuki daerah yang terkena wabah adalah haram, karena dapat mencelakakan diri sendiri serta orang lain. Bagaimana menilai dua pendapat tersebut?
Pemerintah telah memberlakukan protokol PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dalam protokol PSBB tersebut, otoritas melakukan imbauan-imbauan diantaranya adalah sekolah ditutup, kampus dan tempat publik lainnya ditutup, publik juga dihimbau melakukan physical distancing dan yang melanggar dapat dikasih peringatan dengan tindakan hukum.
Tiap tahun para mayoritas pemudik menggunakan bus, kendaraan pribadi dan motor. Di tahun 2019, terdapat 19,5 juta orang melakukan mudik. Dalam situasi normal tanpa CV19, pemerintah mengeluarkan energi besar untuk mengatur mudik tahunan tersebut.
Dalam situasi CV19 saat ini diprakirakan pemerintah akan memiliki beban ekstra tambahan diatas normal bila mudik tetap ada. Petugas lalu lintas, petugas pengadaan logistik dan petugas medis adalah garda terdepan yang diprakirakan akan menentukan kesuksesan mudik 2020.
Pertanyaan adalah apakah pemerintah sanggup menyelenggarakan mudik dengan ekstra beban tersebut?
Penggunaan motor, kendaraan pribadi dan bus yang dipakai pemudik perlu diatur sedemikan rupa sesuai konsep physical distancing dan PSBB yaitu seperti mudik dengan motor maksimal satu orang, dengan mobil pribadi maksimal 3 orang dan dengan bus umum maksimal 50% full penumpangnya, dengan pesawat terbang maksimal 40% kapasitas penuhnya. Hal tersebut harus dilakukan pemerintah bila ingin konsisten protokol PSBB dilakukan.
Pemenuhan aturan tersebut akan membuat tiket mudik akan lebih mahal sekitar 200-450% dari mudik tahun 2019. Kenaikan tiket tersebut menyebabkan inflasi tinggi. Inflasi yang tinggi akan merugikan perekonomian nasional keseluruhan. Inflasi maret 2020 tercatat 2.96% (yoy), secara ytd inflasi januari-maret sebesar 0.76% dan secara bulanan, inflasi maret telah naik 0.1% dari bulan lalu.
Diakhir tahun 2020 dengan mempertimbangan harga impor yang lebih mahal dan adanya kenaikan tiket mudik 200-450% maka inflasi desember 2020 dapat diprakirakan naik 5.5-9.0%.
Jelas. Dampak kebijakan mudik dengan mengikuti protokol PSBB akan menyebabkan inflasi naik ke level tinggi yaitu 5.5%-9.0% disebabkan kenaikan tiket mudik mengikuti aturan physical distancing.
Kebijakan mudik ini sangat dilematis. Bagi kalangan atas yang secara ekonomi mapan, akan memilih tidak mudik karena mereka melihat mudik memiliki resiko tinggi. Namun bagi kalangan bawah yang hidup pas-pasan di Jakarta. Maka, kampung merupakan tempat terbaik untuk bertahan hidup sehingga mereka akan tetap mudik mengabaikan imbauan pemerintah tidak mudik.
Begitu juga, imbauan 14 hari karantina tetap dikampung halaman akan dilanggar juga dengan alasan mencari nafkah.
Bila ada kalangan yang tetap mengikuti aturan 14 hari karantina di kampung halaman akan lebih berbahaya dibandingkan mereka melakukan karantina di kota Jakarta. Alasannya adalah kepadatan (density) penduduk per rumah tangga rerata Jakarta dan kota besar adalah 3.9 orang sedangkan density penduduk pedesaan per rumah tangga sebesar 6-8 orang.
Jelas sekali bahwa tingkat penyebaran CV19 di kampung halaman akan jauh lebih besar jika para pemudik ODP tiba di desanya masing-masing.
Bila otoritas dapat melakukan seleksi ketat terhadap pemudik yang ODP maka dampak penyebaran CV19 di kampung halaman mungkin dapat diminimalisasi. Masalahnya adalah kemampuan pemerintah daerah dalam mendeteksi pemudik apakah sehat atau tidak sangat terbatas kalau boleh dibilang tidak memiliki kompetensi sama sekali.
Solusi masif tes CV19 bagi warga kota adalah tepat bila pemerintah ingin membuka ritual mudik tetap ada. Hal itu disebabkan masing-masing individu perkotaan dapat memutuskan secara sukarela apakah dirinya lebih baik mudik atau tidak. Bila mengetahui positif maka individu tersebut memiliki kemungkinan mudik yang lebih kecil kecuali bila dirinya sengaja ingin menyebarkan virusnya kepada keluarga tercinta di kampung halaman.
Sayangnya, tes massal belum dilakukan karena alat rapid tes yang kemarin diujicobakan ternyata memiliki tingkat error (kesalahan) besar.
Dalam kondisi dimana individu perkotaan tidak mengetahui apakah dirinya terinfeksi atau tidak dan dalam kondisi opsi mudik terbuka lebar maka potensi tersebar CV19 di kampung halaman menjadi sangat besar.
Hal ini lebih membahayakan karena potensi kematian warga kampung mudik lebih besar daripada resiko kematian warga di kota.
Layanan kesehatan di pedesaan sangat minim. Kelengkapan APD tenaga medis belum tersebar di kampung mudik dan banyak kabupaten yang tidak dilengkapi dengan ventilator akan menjadi beban tambahan masyarakat di kampung halaman yang terpapar CV19.
Ide mengganti hari libur panjang di luar hari libur lebaran merupakan ide yang menarik. Dengan begitu liburan lebaran akan pendek, Liburan lebaran yang diperpendek akan menyebabkan warga kota berfikir panjang untuk mudik namun hal tersebut berlaku bagi kalangan atas perkotaan.
Lagi, bagi kalangan bawah liburan panjang atau pendek liburan lebaran tidak mempengaruhi keinginan rindu mereka pada keluarga di kampung halaman. Pengaturan liburan akan efektif bagi mereka yang merupakan pekerja formal, bagi kalangan bawah yang merupakan pekerja informal, panjang pendek liburan sama sekali tidak berpengaruh.
Pemberian bansos khusus kepada warga perkotaan untuk meredam mudik akan efektif bila diberikan kepada semua orang yang berada di zona merah Jakarta. Pemberian bansos khusus hanya kepada 2.5 juta penduduk kota jakarta yang miskin saja tidak tepat karena begitu mereka menerima bansos khusus tersebut, mereka lebih banyak memiliki intensif (banyak uang) untuk mudik meski di paska (H+7) lebaran. Mudik paska lebaran biasa dilakukan oleh pekerja informal dan miskin perkotaan karena mereka terbiasa berburu rezeki saat lebaran tiba.
Akhirnya, desain mudik 2020 yang disampaikan oleh pemerintah melalui pemberian baksos khusus, pergantian liburan lebaran, masa 14 karantina pemudik sampai pengetatan aturan PSBB dan physical distancing saat mudik akan tidak efektif mengurangi jumlah pemudik bahkan berdampak menyebabkan inflasi lebih tinggi sebagaimana uraian diatas.
Tidak diperdebatkan lagi bahwa dalam kondisi normal, mudik bermanfaat bagi ekonomi nasional, mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan dan memperkuat distribusi pendapatan dari kota ke desa, dan mudik juga meningkatkan indeks kebahagiaan dan kohesifitas masyarakat.
Namun di tengah wabah covid, nilai manfaatnya tersebut lebih kecil daripada biaya keberlangsungan hidup dan jiwa masyarakat. Oleh sebab itu, MUI menimbang manfaat dan mudharat mudik 2020 tersebut.
Tanpa ragu MUI mengambil kesimpulan bahwa mudharat mudik jauh lebih besar daripada manfaatnya sehingga MUI menyatakan mudik adalah haram bagi muslim di tengah wabah covid19.
Melihat dua perspektif tersebut, dalam analisis kebijakan publik, satu-satunya langkah efektif dalam desain mudik 2020 di situasi covid19 adalah melalui pelarangan mudik total yang disertai edukasi dan law enforcement aparat keamanan.
Edukasi yang masif akan melahirkan kesadaran bahayanya mudik di kampung halaman. Berbekal kesadaran tersebut, warga dengan sukarela menunda mudiknya sampai wabah covid19 mereda.
Edukasi sama pentingnya dengan penggunaan law enforcement untuk menghindari otoritas melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.
Bila jumlah yang mudik 2020 sama masifnya seperti 2019 lalu maka berarti pemerintah gagal menghindari orang kampung mudik dari serangan covid19. Itu sama artinya pemerintah secara sadar membiakan covid19 dari perkotaan ke kampung-kampung halaman.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/70023/Kebijakan-Mudik-dan-Pembiakan-Covid19/