Tulislah Daku, Kau Kulaporkan
Kebebasan berpendapat (ilustrasi).
Oleh : Hersubeno Arief*
Tradisi kita bertukar pikiran, berdebat dan berpolemik bergerak mundur hampir 100 tahun ke belakang.
Para pendiri bangsa jauh sebelum kemerdekaan, biasa berdebat, berpolemik sangat keras. Berbeda idiologi dan pandangan secara tajam, tak mempengaruhi persahabatan, bahkan penghormatan satu dengan yang lainnya.
Kini kritik dianggap sebagai makar. Sebuah sikap perlawanan yang harus segera dibungkam. Kritik dianggap sebagai sebuah kebencian kepada penguasa.
Berhati-hatilah. Anda bisa dilaporkan melanggar UU Informasi dan Transaksi Ektronik (UU ITE), karena menimbulkan perasaan tidak suka, menyebar kebencian dan fitnah.
Apalagi bila menulis yang berkaitan dengan orang dekat, orang yang merasa dekat, atau orang yang sedang mencoba dekat dengan penguasa, bisa-bisa dilaporkan kepada polisi. Apalagi bila sampai mengkritik sang penguasa, atau setidaknya orang yang merasa berkuasa, konskuensinya bisa lebih serius.
Sejumlah jurnalis dan penulis, hari-hari ini terancam diproses hukum. Ada yang dilaporkan karena pencemaran nama baik, menyebar kebencian, tapi ada juga yang dilaporkan hanya karena si pelapor tidak suka kepada si penulis.
Kita nampaknya tengah memasuki “zaman adu tanduk.” Sebuah masa seperti digambarkan dalam cerita fabel, binatang dengan tanduk terkuat lah yang berkuasa. Dia yang menentukan aturan apa yang benar, dan apa yang salah. Kekuatan, kekuasaan adalah hukum itu sendiri.
Situasinya sungguh mengkhawatirkan. Bila terus dibiarkan, negara ini bisa terjerumus menjadi “Negeri Senja”. Sebuah negeri antah berantah, penduduknya digambarkan oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma (2003) hanya berani berpikir dan bicara seperlunya.
Di Negeri Senja warganya hanya berani berpikir di tempat-tempat yang gelap. Di lorong-lorong gelap dan pengab, dimana cahaya senja tidak bisa menembus. Petugas intelijen dengan pandangan mata dan pendengaran yang super tajam mengawasi dengan ketat semua aktivitas warga, termasuk apa yang mereka pikirkan.
Semua demi langgengnya kekuasaan Puan Tirana, seorang perempuan penguasa yang bermata buta. Warga Negeri Senja akhirnya terbiasa hidup dalam kegelapan.
Mengekpresikan pikiran melalui tulisan adalah tradisi masyarakat beradab, sekaligus salah satu fitur terpenting dalam sebuah negara demokrasi. Manakala orang tak lagi bebas menulis, apalagi sampai takut menulis, maka kita masuk ke sebuah zaman kegelapan.
Tentu saja kebebasan menulis ada batasnya. Tidak asal menulis. Nasehat para bijak “think before you speak,” atau “think before you write,” harus benar-benar diperhatikan.
Banyak yang berpikir di era demokrasi, apalagi di era digital, bisa seenaknya saja menulis. Bisa bebas memaki. Bebas menyebar kebencian.
Tradisi berdebat dan berpolemik
Dalam masyarakat yang beradab, masyarakat yang menjunjung tinggi literasi, dikenal tradisi polemik. Sebuah tradisi perdebatan, adu pemikiran dan argumentasi, melalui tulisan. Akarnya bisa dirunut mulai dari sejarah peradaban Yunani, peradaban Islam, dan juga para bapak bangsa kita.
Bung Karno misalnya pernah berpolemik sangat tajam dengan A Hasan, H Agus Salim dan Mohammad Natsir tentang pilihan idiologi negara. Bung Karno mewakili pemikiran nasionalisme sekuler, sementara Hasan, Agus Salim, dan Natsir mewakili nasionalis agama.
Polemik antara Bung Karno dengan Natsir terekam dalam penerbitan di Majalah Panji Islam. Bung Karno yang dikenal sebagai penganjur paham nasionalisme sangat memuji sekulerisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki. Sebaliknya Natsir meratapi keruntuhan kekhalifahan Dinasti Usmaniyah. Dia menunjukkan dampak buruk Turki yang memilih jalan sekulerisme untuk modernisasi negara.
Perbedaan pemikiran yang tajam diantara mereka, tidak berpengaruh pada kedekatan hubungan personal. Melalui Majalah Panji Islam Agus Salim menerbitkan artikel-artikel yang membela Bung Karno ketika diadili oleh Belanda di Bandung (1930). Pembelaan Bung Karno di pengadilan tersebut sangat terkenal berjudul “Indonesia Menggugat.”
Ketika di buang ke Ende di Flores, Bung Karno rajin berkirim surat dengan A Hasan pendiri Persatuan Islam (Persis). Bung Karno meminta Hasan mengiriminya buku-buku tentang Islam. Korespondensi antara keduanya kemudian diterbitkan oleh majalah Panji Islam dengan judul “ Surat-surat dari Endeh.” Sungguh sebuah persahabatan yang indah. Tak ada lapor melapor, bungkam membungkam.
Tradisi polemik, bertukar pendapat secara sehat, sekarang digantikan dengan caci maki. Yang lebih menyedihkan banyak yang mengambil jalan pintas. Alih alih menjawab gagasan pemikiran dengan pemikiran, tulisan dengan tulisan, mereka memilih menjawab tulisan dengan melaporkan kepada polisi.
Harus diakui tidak semua tulisan di media sosial layak dijawab dengan tulisan. Banyak yang menulis hanya sekedar meluapkan amarah dan kebencian. Ada pula yang memanfaatkan menyebar kebencian sebagai potensi dan peluang bisnis baru.
Namun yang harus dicatat, isu, gosip, desas-desus, hanya akan tumbuh pada masyarakat yang tertutup. Ketika saluran informasi tersumbat, atau sengaja disumbat, secara alamiah, akan mencari katup pelepas, katarsis.
Merebaknya aura kemarahan, kebencian, fitnah di media sosial adalah bentuk protes dan perlawanan karena media mainstream dibungkam dan keadilan tidak lagi ditegakkan. Dalam situasi semacam ini yang muncul adalah keputusasaan yang berujung pada perlawanan.
*Konsultan Media dan Politik
TAGS : Opini hersubeno arief
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/21581/Tulislah-Daku-Kau-Kulaporkan/