Sjamsul Nursalim (Foto: Tempo.co)
Jakarta – Bank Dagang Nasional Indonesia disebut melakukan penyimpangan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada pertengahan 1997. Penyimpangan yang dilakukan BDNI yaitu dengan menyalurkan dana BLBI ke perusahaan yang masuk dalam afiliasinya.
Demikian disampaikan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Iwan Ridwan Prawiranata saat bersaksi untuk terdakwa Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Bank yang dimiliki taipan Sjamsul Nursalim itu adalah salah satu bank yang diberikan BLBI sekitar Rp 30,9 triliun, saat krisis ekonomi melanda Indonesia saat itu. Ketika penyelewengan dilakukan BDNI, Iwan menjabat sebagai Direktur Pengawasan Bank Indonesia (BI).
“Saya hanya melihat laporan yang bulan Maret sampai Desember itu kalau tak salah, ada pemberian ke grupnya sendiri pada Tahun 1997,” ucap Iwan saat bersaksi.
Dikatakan Iwan, setiap bank yang mendapat kucuran BLBI akan diawasi pihaknya dalam setiap penggunaan dana talangan tersebut. Jaksa KPK kemudian membacakan sejumlah penyelewengan yang dilakukan BDNI. Di antaranya, penyimpangan dengan melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet, melakukan pembayaran dana talangan kepada kreditur untuk memenuhi kewajiban nasabah grup terkait, dan pemberian kredit rupiah kepada grup terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar bank antar bank.
“Bentuk penyimpangannya seperti itu, Apakah bapak mengetahui?,” tanya Jaksa kepada Iwan.
“Dari laporan pengawas bank ada (seperti itu),” jawab Iwan.
BDNI merupakan salah satu dari 54 bank yang menerima kucuran BLBI pada 1997. Adapun kewajiban yang harus dilunasi BDNI senilai Rp 28,4 triliun.
BI menyerahkan pembinaan dan pengawasan BDNI ke BPPN berdasar Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SK Dir BI) No. 30/199/KEP/DIR tanggal 12 Februari 1998 tentang penempatan bank umum dalam program penyehatan dan SK Dir BI No. 30/219/KEP/DIR tanggal 14 Februari 1998 tentang penempatan BDNI dalam pengawasan BPPN. Kemudian Berdasarkan SK Ketua BPPN No. 3/BPPN/1998 tanggal 4 April 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Take Over (BTO), selanjutnya berdasarkan SK Ketua BPPN No 43/BPPN/1998 yang diterbitkan tanggal 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh Tim Pemberesan yang ditunjuk BPPN dan didampingi oleh Group Head Bank Restrukturisasi.
Setelah melakukan pertemuan beberapa kali, selanjutnya dilakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan melalui mekanisme Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) antara BPPN dan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI pada 21 September 1998.
Dikatakan Iwan, mekanisme MSSA adalah skema di mana pemerintah dengan bank yang bersangkutan, melalui pemegang sahamnya ada kesepakatan untuk menyelesaikan kewajiban itu dengan menyerahkan aset dan dibayar tunai.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua BPPN Maulana Ibrahim menyebut jika pengawasan BDNI dalam penggunaan dana BLBI di bawah tanggung jawab mantan Wakil Ketua BPPN Rini Soewandi. Itu disampaikan Ibrahim saat menjadi saksi untuk Syafruddin.
“Saya tidak langsung membawahi pengawasan terhadap BDNI. BDNI di bawah ibu Rini Soewandi. Kalo dokumen mungkin ada catatannya, tapi saya tidak membawahi langsung pengawasan dan monitoring pada BDNI,” ucap Ibrahim saat bersaksi.
Dikatakan Ibrahim, tugasnya sebagai wakil ketua BPPN lebih ke masalah-masalah administrarif. Meski demikian, Ibrahim mengakui kalau pengawasan BDNI selaku penerimaan dana BLBI dipindahkan dari BI ke BPPN pada awal 1998.
“Saya tak mengetahui, karena itu kalau enggak salah itu waktu jamannya Bambang Soebianto (Mantan Menkeu) Jadi ada beberapa bank yang dari BI, yang dipindahkan pengawasan ke BPPN, sejumlah sekitar 54,” ujar Ibrahim.
Dalam penerbitan SKL BLBI kepada BDNI ini, Syafruddin didakwa telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Syafruddin selain itu disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Perbuatan Syafruddin itu dinilai merugikan keuangan negara dan memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004, sebesar Rp 4,58 triliun. Dugaan korupsi itu dilakukan Syafruddin bersama sejumlah pihak. Salah satunya diduga Dorodjatun Kunjorojakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
TAGS : Korupsi BLBI Sjamsul Nursalim
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/36492/Saksi-Ungkap-Penyimpangan-Dana-BLBI-Sjamsul-Nursalim/