Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri
Oleh: Hersubeno Arief.
Sinyal Jokowi akan berpisah dengan Megawati (PDIP) kian jelas. Penunjukan nama kandidat dan pilihan koalisi partai dalam pilkada serentak di berbagai provinsi, menunjukkan dua sekutu itu mulai bersimpang jalan.
PDIP di berbagai wilayah penting seperti Jawa, Sumatera, termasuk Sulawesi mengusung kandidat dan berkoalisi dengan partai yang berbeda dengan partai pendukung Jokowi. PDIP bahkan tidak segan untuk berkoalisi atau mencoba membangun koalisi dengan partai oposisi seperti Gerindra dan PKS.
Kesan tersebut sudah muncul dengan sangat kuat sejak dimulainya proses penjajakan koalisi. PDIP menghindari kandidat yang didukung Jokowi, begitu pula sebaliknya.
Pilihan semacam itu tentu agak mengherankan mengingat Jokowi sejak mulai dari pencalonan sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai menjadi presiden, atas dukungan PDIP.
Kendati bukan kader PDIP sejak awal (mualaf), namun setelah terpilih menjadi walikota Solo, Jokowi memutuskan menjadi kader partai. Dalam bahasa Megawati, Jokowi menjadi petugas partai. Tidak pada tempatnya pilihan politiknya berbeda dengan garis partai.
Tanda awal yang sangat nyata, adalah keputusan Jokowi mengizinkan Khofifah berlaga di Pilkada Jawa Timur (Jatim) menantang Saifullah Yusuf (Gus Ipul). Padahal Gus Ipul yang berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas diusung oleh PKB-PDIP, dan kemungkinan besar PKS. Untuk mengusung pasangan ini PDIP bahkan rela tidak menempatkan kader aslinya. Mereka mengakuisisi Azwar Anas yang semula kader PKB.
Dengan mengusung Khofifah (Demokrat-Golkar) risiko politik yang dipertaruhkan Jokowi tidak kecil. Dia berpotensi kehilangan dukungan dari sebagian besar ulama sepuh NU yang sejak awal, bulat mendukung Gus Ipul. Dukungan para ulama sepuh NU ini sangat penting bagi Jokowi. Dia tengah menghadapi oposisi kuat dari kelompok muslim perkotaan yang tergabung dalam GNPF Ulama.
Di Jawa Barat (Jabar) Jokowi sudah lebih dahulu menjatuhkan pilihan ke Ridwan Kamil (RK) sebagai cagub. Bahwa RK merupakan “orang” Jokowi tidak hanya terlihat dari kedekatan personal keduanya, namun juga dari partai pengusungnya. Yang paling awal mengusung RK adalah Nasdem, kemudian disusul PKB, dan PPP. Koalisi Jokower makin terlihat nyata, ketika Golkar bergabung dan mencampakkan Ketua Umum DPD I Golkar Jabar Dedi Mulyadi (Demul).
Dengan komitmen RK untuk mengamankan pencapresan Jokowi, seharusnya PDIP bergabung dengan koalisi tersebut, untuk memperkuat dan memastikan kemenangan RK. Alih-alih mendukung, PDIP malah bersuara miring terhadap RK.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto secara tegas menyatakan bahwa kinerja RK tidaklah cemerlang. Kualitas kepemimpinan dan keberhasilannya sebagai kepala daerah, masih jauh dibandingkan dengan Walikota Surabaya Risma Triharini dan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto. Karena itu PDIP tidak akan mendukung RK.
PDIP malah secara gencar melakukan pendekatan ke Netty Heryawan, istri dari Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Sebagai kader PKS Netty menolak dan lebih memilih taat mendukung pilihan partai yang mengusung Deddy Mizwar-Syaichu. Tak putus asa, Hasto sempat menyatakan terbuka bagi PDIP untuk berkoalisi dengan PKS.
Pernyataan Hasto sangat wajar. PDIP telah berkoalisi dengan PKS dan Gerindra di sejumlah pilkada kota/kabupaten dan provinsi. Di Sulawesi Selatan, PDIP bergabung mendukung pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman yang diusung PKS-Gerindra.
PDIP tidak bergabung mendukung Nurdin Halid-Azis Qohhar Mudzakar yang diusung Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, dan PKPI. Dilihat dari partai pendukungnya, semua adalah partai pemerintah dan beberapa diantaranya (Golkar, PPP, PKPI, dan Hanura) sudah sepakat untuk mencalonkan kembali Jokowi.
Di Sumatera Utara, PDIP mengusung mantan Wagub DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat yang berpasangan dengan Sihar Sitorus, berhadapan dengan Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi-Musa Rajeksah yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN. Golkar dan Nasdem kemudian bergabung mendukung Edy, bukan Djarot.
Sementara di Jawa Tengah (Jateng) dengan modal 31 kursi di DPRD, PDIP kembali mengusung _incumbent_ Ganjar Pranowo yang kabarnya akan dipasangkan dengan Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin) putra ulama NU karismatik KH Maimoen Zubair.
Adu kekuatan dan berebut kantong Islam
Dari peta pilihan kandidat dan partai koalisi tadi, sangat terlihat Jokowi dan Megawati sedang menjajaki dalamnya air, mengukur kekuatan masing-masing. Mereka bertempur di balik layar dengan menggunakan pion.
PDIP hingga kini belum memutuskan untuk mengusung kembali Jokowi. Namun Jokowi tidak khawatir karena sejumlah partai seperti Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, dan PKPI sudah secara resmi memutuskan akan mengusungnya kembali.
Andalan utama Jokowi adalah Golkar yang memiliki total 14.75 persen suara. Tinggal menambah sekitar 5.25 persen saja untuk memenuhi presidential threshold sebesar 20 persen. Secara teknis posisi Jokowi sudah aman, walaupun tanpa dukungan PDIP.
Berbagai manuver tadi dan hasil dari Pilkada serentak 2018, akan sangat menentukan apakah PDIP tetap mengusung Jokowi, atau mengajukan kandidat sendiri?
PDIP dengan sangat cerdik melihat kelemahan utama Jokowi adalah buruknya hubungan dengan kelompok Islam terdidik di perkotaan, dan wilayah yang dikenal sebagai kantong Islam seperti Jabar.
Pilihan terhadap Gus Ipul dan Azwar Anas yang berlatar belakang NU merupakan strategi PDIP untuk merebut kantong nahdliyin. Apabila PKS jadi bergabung dengan kubu Gus Ipul — yang belum kita ketahui akan berpasangan dengan siapa pasca skandal Azwar Anas– maka PDIP akan mendapat kuntungan berganda. PDIP berhasil merangkul kubu Islam tradisional sekaligus Islam perkotaan di Jatim.
Kemenangan PDIP akan sempurna bila kemudian pengganti Azwar Anas berasal dari kader PAN, atau malah PKS. Itu akan menjadi sebuah akuisisi politik yang sangat cerdas dan berani.
Begitu pula pilihannya terhadap Gus Yasin sebagai pendamping Ganjar di Jateng. Bila itu sampai terwujud, maka PDIP telah berhasil membentuk aliansi dengan kekuatan NU kultural di Jateng. KH Maimoen Zubair atau biasa dipanggil Mbah Maimoen pernah menjadi Ketua Majelis Syuriah DPP PPP. Dia merupakan ulama kharismatis dan memiliki Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang. Alumni pesantren Sarang tersebar dimana-mana dan banyak menjadi tokoh berpengaruh.
PDIP sejauh ini juga sudah berhasil melakukan akuisisi politik yang cukup signifikan dengan mencalonkan Abdullah Gani Kasuba (AGK) sebagai cagub Maluku Utara (Malut). AGK adalah kader dan tokoh PKS yang saat ini menjadi gubernur _incumbent_. Namun konflik keluarga dan internal PKS membuat AGK memutuskan maju sebagai cagub melalui PDIP. Dia akan berhadapan dengan adik kandungnya sendiri Muhammad Kasuba yang diusung oleh PKS, Gerindra, dan PAN.
Dari sisi jumlah pemilih, Malut sangat kecil, di bawah 1 juta suara. Namun secara politis dampaknya sangat luas. PDIP makin menegaskan bahwa mereka tidak anti terhadap partai maupun tokoh Islam, termasuk PKS yang menjadi partai oposisi pemerintah. PDIP sudah mulai membuat diferensiasi dengan Jokowi.
PDIP hanya gagal di Jabar, karena tidak berhasil mengakuisisi Netty Heryawan dan berkoalisi dengan PKS. Di Jabar PDIP memilih mengusung calon internal Ketua DPD PDIP Jabar TB Hasanuddin yang dipasangkan dengan mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan.
Pilihan mengusung calon internal ini kembali menegaskan sikap PDIP yang tak ingin bergabung dengan poros RK-Uu Ruzhanul Ulum (Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura), atau Demiz-Demul (Golkar, Demokrat). Kedua-duanya ditengarai akan menjadi proxy Jokowi di Jabar.
Adu strategi, dan keberhasilan dalam pilkada serentak 2018, akan menentukan tawar menawar politik politik Jokowi dengan Megawati. Bila Jokowi merasa di atas angin, maka kemungkinan besar dia akan meninggalkan PDIP. Sebagai presiden, Jokowi tak ingin hanya menjadi petugas partai dan terus di bawah bayang-bayang Mega.
Sebaliknya PDIP juga akan mengajukan calon sendiri, bila banyak kandidatnya yang memenangkan pilkada. PDIP akan lebih percaya diri (pede) menghadapi Pilpres 2019 karena berhasil merangkul kekuatan-kekuatan Islam tradisional dan modernis di perkotaan.
Opsi lain, tidak tertutup kemungkinan Jokowi-Megawati akan kembali bersatu, bila secara kalkulasi lebih menguntungkan. Hiruk pikuk proses pencalonan kandidat dan koalisi jelang pilkada tidak lebih sebagai upaya untuk saling memperkuat posisi tawar mereka.
TAGS : Opini jokowi pdip pilkada
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/27454/Pilkada-Serentak-2018-Sinyal-Awal-Perpisahan-Jokowi-Megawati/