Apel Banser Ansor di Candi Prambanan, Yogyakarta.
Ruchman Basori
Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
Mungkin Anda sudah mengenal KH. Dr. H. Abdul Ghofur Maemoen, biasa dipanggil Gus Ghofur putra KH Maemoen Zubair Sarang Rembang. Sepulang dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir beliau diminta bergabung dalam Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor oleh sang Ketua Umum Nusron Wahid sekitar tahun 2011. Gus Ghofur dipercaya sebagai Ketua Bidang Kajian Islam, Dakwah dan Pengembangan Pesantren dan saya mendapat kehormatan mendampingi beliau sebagai wakil sekjennya.
Tidak hanya Gus Ghofur, tetapi diikuti oleh kyai muda yang lain putra kyai kaharismatik Nahdlatul Ulama. KH. Luthfi Thomafi (Gus Luthfi) Lasem Rembang, teman Gus Ghofur di Kairo, ada KH. Najib Bukhori (Gus Najib) Tuban, KH. Ahmad Nadzif (Gus Nadzif) Tayu Pati, Habib Syarif Abu Bakar (Bib Syarif) Cirebon, Gus Mahfudz Hamid Maron Purworejo dan sejumlah kyai muda yang lain yang ikut ambil bagian berkhidmah di Pimpinan Pusat Ansor.
Pada peroiode kepemimpinan Yaqut Cholil Qaumas (Gus Yaqut) 2015-2020, semakin banyak para gus atau kyai muda yang ikut memperkuat kepengurusan PP. Ansor. Sebut saja KH. Sholihul Aam Notobuwono (Gus Aam) Jombang, Gus Aunulloh Ala Habib (Gus Aun) Boyolali, Gus Abdul Latif Jombang, dan Gus Abid Umar Ploso. Belum lagi secara berantai yang duduk dalam kepengurusan PW, PC, PAC hingga Pimpinan Ranting Ansor sudah tak terhitung jumlahnya.
Umumnya para kyai muda ini merupakan putra kyai dan memangku pesantren di sejumlah daerah. Dari sisi geneologi memang sudah sepantasnya mereka menjadi kekuatan NU yang akan menebarkan dan mencerahkan umat. Secara intelektual mereka dibesarkan dalam tradisi intelektual yang hebat rata-rata dari Timur Tengah dan secara sosial menempati makom yang sangat terhormat dan dihargai oleh masyarakatnya.
Coretan ini ingin melihat kiprah dan gerak langkah Kyai Muda Ansor yang selama ini ikut menggerakan dan mendinamiskan Gerakan Pemuda Ansor. Penyebutan nama dimaksudkan agar tulisan ini dibaca renyah dan kontekstual, tidak ada maksud lain, sebagai refleksi mendalam atas peran dan perjuangan para kyai muda dalam khidmahnya di Ansor untuk masyarakat, bangsa dan negeri yang kita cintai ini.
Tampilnya Kyai Muda Ansor bagi saya sangat menarik untuk di catat. Semula organisasi GP Ansor diisi oleh para aktivis murni, jebolan aktivis organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan seperti PMII, HMI, IPNU, pondok pesantren dan lain-lain. Kini berubah dengan masuknya lapisan intelektual muda pesantren calon PBNU di masa depan. Ini juga sebagai bentuk reposisi dan revitalisasi GP Ansor memasukan lapisan baru yang sejatinya adalah sebagai kaderisasi NU. Selama ini mereka para kyai muda, tumbuh dan berkembang secara alami, begitu pulang dari studinya di Timur Tengah, kuliah di beberapa perguruan tinggi atau mondok di beberapa pesantren, langsung diberikan amanah memegang tampuk kepemimpinan di NU dan peran-peran publik lainnya.
Kondisi ini dibaca betul oleh Pimpinan Pusat Ansor secara cermat sebagai instrumen perubahan. Sejak dini antar kyai muda dipertemukan, saling berdialektika dan berdiskusi secara inten. Saling bertukar pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan, khususnya pada hal-hal terkait dengan leadership, memamahami masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan dan global. Keluasan pengetahuan agama (tafaqquh fiddin) di Timur Tengah dan Pesantren harus diimplementasikan melalui laboratorium Ansor, sebagai miniatur masyarakat Indonesia.
Medan Juang
Oleh Pimpinan Pusat Ansor para kyai muda diberikan tempat yang terhormat dan strategis, utamanya di Lembaga Majlid Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor. Sebuah wadah untuk mendesiminasikan pikiran, gagasan, nilai dan tradisi ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah. Dzikir dan sholawat yang mestinya menjadi milik (trademerk) NU, belakangan secara berlahan dimiliki oleh komunitas keagamaan lain. Padahal selama ini, menjadi daya pembeda yang sangat jelas antara NU dengan yang lainnya. Selain itu menghadapi tantangan modernisasi yang sangat kuat menghendaki Ansor untuk merevitalisasi nilai dan tradisi Aswaja, salah satunya dibentuk Majlis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor yang kini dipercayakan dipimpin oleh Gus Aam.
Kehadiran kyai muda bagi Ansor juga dinilai sangat strategis untuk menjawab masalah-masalah keagamaan (diniyah) dan kebangsaan. Karenanya mereka kerap terlibat memandegani pelbagai Bahsul Masail (BM) dan Halaqah Kyai Muda (HKM). Persoalan kepemimpinan, pajak dan zakat, sumber daya alam, perbankan dan masalah-masalah publik lain kerap diselesaikan oleh mereka dalam BM dan HKM. Menurut saya ini perkembangan yang sangat positif dan harus mendapatkan apresiasi, terutama para pimpinan Nahdlatul Ulama.
Nampak sekali kedalaman dan keluasan pemahaman Islam yang dimiliki oleh para kyai muda itu ketika mereka terlibat dalam perdebatan dan diskusi mendalam di sejumlah Bahsul Masail dan Halaqoh. Kemahiran membaca dan mengurai kitab kuning tak diragukan. Hal itu juga diakui oleh banyak kalangan di luar NU. Bagi saya mereka semua adalah asset NU yang tak ternilai harganya, bahkan asset bangsa Indonesia, karena mereka mempunyai pemahaman Islam yang moderat ala ahlussunnah wal jamaah. Terbiasa menerima perbedaan, dan menjunjung tinggi pluralitas dan kedamaian.
Selain medan juang di atas, para kyai muda Ansor kerap berjibaku terjun ke basis-basis Ansor. Keliling Indonesia dari Sabang hingga Merauke dengan penuh rintangan dan masalah yang tidak sedikit. Mereka terlibat aktif menjadi Instruktur Nasional Ansor dalam forum-forum pelatihan seperti Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKL). Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) Banser dan Diklat Terpadu Dasar (DTD). Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan (PKL), Kursusu Banser Lanjutan (Susbalan) hingga Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN). Mereka terlibat untuk 3-6 hari dalam pelatihan yang sudah barang tentu mengorbankan pikiran, tenaga dan waktu juga meninggalkan keluarga dan para santri di pondok pesantren.
Untuk urusan kaderisasi ini, saya menjadi saksi bagi kiprah dan gerak juang mereka. Mereka tidak saja lihai dipanggung untuk ceramah umum dengan ribuan masa, mengurai kitab demi kitab kuning, namun juga lihai dan telaten mendampingi kader dari level yang paling rendah, hingga tinggi. Mendengarkan keluh kesah para anggota dan kader Ansor dari urusan keluarga, pekerjaan, hingga kemasyarakatan. Saya berterimakasih dan salut betul atas dedikasi para kyai muda Ansor ini.
Mereka telah ikut berjuang membesarkan Ansor yang kini kadernya tercatat 5 juta orang. Pengkaderan tiada henti dan tak bertepi juga slogan yang dibikin oleh salah seorang kyai muda, Gus Aunulloh Ala Habib, yang kini telah menjadi semangat para instruktur Ansor. Sungguh menjadi contoh (model) dalam berjuang di wadah non nirlaba seperti Ansor ini. Wallahu a`lam bi al-shawab.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/27924/Kyai-Muda-di-Balik-Ansor/