Ilustrasi Gedung DPR
Jakarta – Kursi pimpinan DPR menjadi rebutan anggota hingga partai politik yang berada di parlemen. Sejumlah fraksi di DPR menginginkan anggotanya duduk di kursi “empuk” tersebut.
Sepanjang 2017 kursi pimpinan DPR menjadi polemik. Berawal, keinginan Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) sebagai partai pemenang Pemilu 2014 silam untuk mendapatkan jatah kursi pimpinan DPR.
Alhasil, keinginan PDIP untuk mendapat jatah kursi pimpinan DPR disetujui dalam rapat paripurna DPR pada penghujung tahun 2016. Keinginan ini dinyatakan dalam rapat paripurna penetapan Setya Novanto sebagai Ketua DPR menggantikan Ade Komarudin.
Mayoritas fraksi di DPR setuju Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) untuk direvisi. Namun, perubahan hanya terbatas untuk menambah satu kursi pimpinan DPR dan MPR.
Bahkan, revisi UU MD3 tentang penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2017. Perebutan kursi pimpinan DPR dan MPR seolah lebih utama dan penting bagi seluruh fraksi yang duduk di DPR.
Namun, sepanjang 2017 pembahasan revisi UU MD3 tentang penambahan pimpinan DPR menjadi perdebatan yang berkepanjangan yang tak kunjung usai. Hingga Ketua DPR Setya Novanto terjerat kasus tindak kejahatan korupsi e-KTP, keinginan PDIP untuk duduk di kursi pimpinan DPR belum terwujud.
Belum usai polemik penambahan kursi pimpinan DPR, Novanto malah terjerumus ke balik jeruji besi. Sehingga, selain perdebatan penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR, kini perebutan posisi Ketua DPR untuk menggantikan Novanto sebagai jatah Partai Golkar pun menjadi panas.
Soal posisi ketua DPR, sempat terjadi perdebatan panas di tubuh Fraksi Golkar. Novanto dari balik jeruji besi KPK menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai penggantinya. DPR lalu menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) antara pimpinan DPR dan 10 Fraksi, termasuk Golkar. Bamus memutuskan Aziz tak jadi dilantik sebagai ketua DPR.
Ditengah polemik penggantian posisi Novanto di Bamus DPR, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga melayangkan surat untuk meminta pergantian Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR.
Namun, Bamus menolak surat yang dilayangkan Fraksi PKS tersebut dengan alasan proses hukum yang dimenangkan Fahri di pengadilan. Dimana, Pengadilan Tinggi (PN) Jakarta menolak banding yang diajukan PKS atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 14 Desember 2016.
Lalu bagaimana soal posisi Ketua DPR pengganti Novanto dan nasib penambahan pimpinan DPR?
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto belum memutuskan siapa kadernya yang bakal ditugaskan sebagai Ketua DPR. Menurutnya, partainya baru akan mengirim nama pengganti Novanto pada awal Januari 2018.
“Tentu paripurna terakhir tentu kita akan putuskan menjelang masa sidang berikutnya,” kata Airlangga, di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Kamis (14/12).
Sementara, Badan Legislasi DPR telah menyepakati soal penambahan kursi pimpinan DPR untuk PDIP dalam revisi UU MD3. “Fraksi-fraksi setuju adalah tambahan satu kursi pimpinan DPR untuk PDIP,” kata anggota Baleg DPR, Arsul Sani ketika dihubungi, Jakarta, Rabu (27/12).
Menurutnya, revisi UU MD3 akan kembali dibahas pada masa sidang yang akan datang. “Jadi revisi UU MD3 akan mulai kembali dibahas pada masa sidang yang akan datang,” katanya.
DPR memang sedang reses, dimulai dari 12 Desember 2017 hingga 8 Januari 2018. DPR akan membuka sidang pada 9 Januari 2018 nanti.
Diketahui, saat ini kursi pimpinan DPR berjumlah lima. Pemilihan kursi pimpinan DPR berdasarkan sistem paket yang dipilih melalui rapat paripurna pada awal persidangan DPR 2014 silam. Kursi pimpinan DPR saat ini diisi oleh Partai Golkar, Gerindra, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
TAGS : Pimpinan DPR Kursi Panas Ketua DPR
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/26993/Kursi-Panas-Pimpinan-DPR/