ilustrasi pernikahan (foto: shutterstock)
Jakarta – Wacana pemerintah menetapkan batas baru usia minimal pernikahan dinilai sebagai hal yang percuma. Pegiat hak asasi manusia dan kesetaraan gender Tunggal Pawestri menyebut praktik perkawinan di bawah umur akan terus terjadi, bila pengadilan agama masih bisa memberikan dispensasi.
“Usia minimal perkawinan itu 16 tahun buat perempuan dan laki-laki 19 tahun. Akan tetapi pengadilan agama bisa memberikan dispensasi,” terang Pawestri kepada Jurnas.com, Senin (16/4) di Jakarta.
Pawestri menjelaskan, dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Ayat 1, sudah ditetapkan batas usia minimal perkawinan. Namun ayat selanjutnya memberikan peluang praktik perkawinan anak tersebut tetap dilakukan.
“Jadi meski ada usaha untuk menaikkan usia kawin anak, maka akan percuma saja jika hulunya tidak ditembak, yakni di UU No 1/1974,” katanya.
Dalam Ayat 1 Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun”.
Sementara Ayat 2 Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 diterangkan, “Dalam Hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
Seperti diketahui, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Agama sedang mengkaji kenaikan batas minimal perkawinan.
Menteri PPPA Yohana Yembise mengatakan, jika disepakati oleh DPR, maka usia minimal perkawinan untuk anak perempuan adalah 20 tahun. Sedangkan anak laki-laki 22 tahun.
TAGS : Perkawinan Anak Pernikahan Dini
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/32547/Kenaikan-Batas-Usia-Perkawinan-Dinilai-Percuma/