Sjamsul Nursalim
Jakarta – Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004 disebut memiliki sederet skandal piutang dalam menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Auditor BPK I Nyoman Wara membeberkan sejumlah penyimpangan yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam menghitung utang BDNI terkait BLBI.
Sederet skandal piutang Sjamsul itu disampaikan Nyoman, saat dihadirkan sebagai ahli oleh jaksa KPK dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi terkait penerbitan SKL BLBI pada BDNI dengan terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/8).
Nyoman mengatakan, Sjamsul Nursalim sebagai pemilih saham BDNI menyebut piutang petani tambak sebagai piutang yang lancar dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Faktanya, piutang itu tidak lancar sehingga terjadi misrepresentasi.
“Dalam MSAA pasal 1, nilai yang dikurangkan dalam perhitungan PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) adalah sebesar nilai pasar aset, walau tidak memenuhi kriteria lancar tapi tidak diungkapkan kondisi sebenarnya sehingga pelanggaran jaminan dari Sjamsul Nursalim dan bisa diminta kerugian negaranya, itu di pasal 49, pasal 72 pemegang saham akan perbaharui dari waktu ke waktu kalau ada perubahan aset, pasal 12 ayat 2 huruf a kalau tidak dipenuhi maka BPPN bisa minta ganti kerugian kepada Sjamsul Nursalim,” jelas Nyoman.
Kata Nyoman, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) memerintahkan BPPN melibatkan AMI dalam penyelesaian misrepresentasi BDNI. Namun dalam penyelesaiannya, AMI ternyata tidak dilibatkan.
“Sehingga penyelesaian misrepresentasi tidak lagi melalui pertanggungjawaban pemegang saham, tidak sesuai dengan keputusan KKSK tanggal 13 Mei 2002. KKSK memerintahkan BPPN melibatkan divisi AMI,” ucap Nyoman.
Nyoman menyebutkan, Syafruddin selaku Ketua BPPN saat itu tidak memberikan informasi lengkap terhadap piutang petambak yang merupakan aset bank yang diperhitungkan dalam penetapan PKPS.
“Dan Sjamsul masih memiliki kewajiban tambahan PKPS yang telah dihitung dalam MSAA. Padahal KKSK, 7 Oktober 2002 memerintahkan BPPN untuk melaporkan rincian lebih lanjut atas penanganan PKPS Sjamsul termasuk menyelesaikan permasalahan PT Dipasena,” tutur Nyoman.
Nyoman melanjutkan, penerbitan surat keterangan lunas (SKL) sebelum penyelesaian misrepresentasi. Sjamsul diduga melanggar perjanjian MSAA karena tidak menyelesaikan kewajibannya.
“Meski diketahui Sjamsul belum selesaikan misrepresentasi nilai utang BDNI petambak senilai Rp 4,8 triliun. Misrepresentasi pelanggaran jaminan Sjamsul sesuai dengan MSAA artikel 81, 49, 72, Sjamsul tidak menyelesaikan kewajibannya atau cedera janji misrepresentasi piutang petambak senilai Rp 4,8 triliun,” terangnya.
TAGS : Kasus BLBI KPK Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin