Fatayat Serbaguna
Kalau Anda semua melihat pasukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sudah biasa. Baik pada saat pengamanan acara, menjaga rumah ibadah, tanggap bencana, olah seni budaya maupun kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Pun dalam diklat-diklat Ansor, dinamika Banser sangat menonjol hampir tak pernah henti.
Namun akhir-akhir ini, dapat kita jumpai di berbagai pendidikan dan latihan dasar (Diklatsar) dan juga Diklat Terpadu Dasar (DTD) Banser, kerap terlihat puluhan bahkan mencapai ratusan pasukan yang berjenis kelamin perempuan. Di acara Apel Kebangsaan dan Kemah Kebangsaan antara Banser NU dengan Kokam Muhammdiyah di Plataran Candi Prambanan pada tanggal 16 Desember 2017 yang lalu. Satu pleton khusus diisi oleh apa yang disebut Fatayat Serbaguna, untuk menyebut para Banser dari kalangan perempuan itu.
Ini fenomena baru, yang unik dan menarik dalam puluhan tahun terakhir ini, dimana kaum Hawa terlibat dalam kegiatan yang memerlukan lebih banyak kekuatan fisik. Bernuansa maskulin dan seakan meminimalisir feminitas bagi kaum hawa ini. Selama ini kaum perempuan dalam Nahdlatul Ulama, diwadahi dalam Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) untuk anak perempuan usia remaja menginjak dewasa, Korp PMII Puteri (KOPRI) untuk mahasiswi, Fatayat NU untuk para pemudi dan Muslimat NU untuk para perempuan yang masuk katagori ibu-ibu.
Umumnya para perempuan yang mengikuti kegiatan dan diklat-diklat Banser adalah didorong keprihatinan mendalam akan munculnya kontestasi gerakan keagamaan Islam yang cenderung fundamentalis, intoleran dan radikal. Bangsa ini didera dengan konflik dan perbedaan yang tak berkesudahan, terutama di media sosial (Medsos). Nah mereka yang biasanya berperan di rumah (wilayah privat), kini berkeinginan keluar dan peduli akan nasib bangsanya (wilayah publik).
Belum lagi suara nyaring walaupun hanya segelintir orang yang sudah jengah dan ogah dengan dasar idiologi Pancasila. Bagi kelompok jenis ini, Pancasila sudah tidak relevan lagi sebagai idiologi dan dasar negara bagi negeri ini. Mereka menawarkan sistem khilafah Islamiyah yang akan membawa Indonesia jaya. Walaupun kita tahu sistem khilafah juga sesuatu yang utopis, karena di negara-negara Islam sendiri tidak mempunyai sistem pemerintahan yang tunggal. Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi khalifah dan ibu kotanya nanti di negara mana sebagai satu sistem kekhilafahan?
Singkatnya para perempuan cantik dan terpelajar yang masuk Fatser ini adalah mereka yang ingin melihat Islam itu sebagai agama rahmat, cinta kasih dan menaungi semuanya. Bukan agama yang sempit, intoleran dan jauh dari spirit ajaran Nabi Muhammad Saw sebagai nabi yang cinta damai, mengayomi dan menyayangi. Selain itu, mereka ingin menegaskan sikap bahwa Pancasila dan NKRI sebagai sesuatu yang final untuk bangsa dengan penduduk 245 juta.
Selain alasan substantif ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, yang ingin dirajut itu, Fatser adalah komunitas yang ingin menjawab kebutuhan sumber daya manusia dan profesionalitas NU dalam khidmahnya mempertajam peran-peran sosial keumatan. Bagi mereka menanggalkan kefimininan tidak masalah, apalagi di zaman modern seperti sekarang ini. Perempuan dalam banyak hal diyakini mampu berperan seperti kaum Adam. Bisa melakukan tugas-tugas seperti apa yang dilakukan oleh Banser. Karenanya mereka dengan semangat dan dedikasi yang tinggi di gembleng ala Banser.
Tuntutan Zaman
Fenomena munculnya ketertarikan kaum perempuan ingin menjadi bagian dari Banser, Yaqut Choil Qaumas (Gus yaqut) Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor sekaligus Komandan Tertinggi Banser memberikan apresiasi positif. Ada dua hal setidaknya urgensi keberadaan Fatser menurut Gus Yaqut: Pertama, Tuntutan zaman. Artinya, sekarang tidak ada pembeda yang tegas antara peran laki-laki dengan perempuan di ruang publik. Apa yang bisa dikerjakan oleh laki-laki, hampir semua bisa dikerjakan pula oleh kaum perempuan. Apalagi dalam konteks bela agama, ulama dan negara secara fisik. Kita menangkap gairah (ghirah) yang luar biasa dari kader perempuan NU yang juga ingin terlibat dalam aktifitas ini. Bisa jadi karena mereka melihat peran Banser yang luar biasa beberapa waktu belakangan ini, dalam menjaga ulama dan kedaulatan negara, para kader perempuan NU inipun tergerak untuk ikut terlibat. Seiring dengan massifnya kaderisasi Banser di daerah, mereka ikut dan merasa menemukan dunianya.
Kedua, salah satu fungsi Banser adalah menjaga ulama. Di dalam NU, yang namanya ulama itu bukan hanya kyai (ulama laki-laki), tetapi juga banyak tersebar Nyai (ulama perempuan) yang sering kali juga turun di tengah-tengah jamaah. Beliau-Beliau ini tentu juga memerlukan atau seyogyanya diberikan pengawalan karena keikhlasannya merawat jamaah. Jika para Nyai ini yang mengawal atau menjaga adalah Banser yang laki-laki, tentu ada rasa ewuh-pakewuh atau setidaknya jengah, baik yang dirasakan oleh Nyai sendiri ataupun oleh Banser. Dalam situasi seperti ini, Banser perempuan yang kemudian secara alamiah dikenal dengan sebutan Fatser, kehadirannya menjadi sangat diperlukan.
Fenomena menarik yang harus disikapi oleh Nahdlatul Ulama dan Gerakan Pemuda Ansor, setidaknya dalam 3-4 tahun terakhir. Pertama, sampai hari ini belum ada landasan yuridis yang mengatur tentang Fatser. Apakah akan menjadi bagian dari Fatayat NU atau dibawah naungan GP Ansor; Dalam rapat kerja PW Fatayat Jawa Tengah misalnya, masih belum menganggap perlu Fatser dalam tubuh organisasi yang dihuni oleh para pemudi NU tersebut;
Kedua, dari sisi keanggotaan, mestinya mereka ada dibawah Fatayat NU, hanya saja Pimpinan Pusat Fatayat NU belum secara jelas merespon fenomena Fatser ini; Ketiga, tentang nama, apakah akan memakai Fatayat Serbaguna yang biasa dikenal selama ini dengan Fatser, apakah dengan nama lain yang dicoba dari akar sejaran Islam dan Nahdlatul Ulama tentang para pejuang-pejuang perempuan.
Dalam sejarah Islam telah disebutkan beberapa nama-nama sahabat nabi dari kaum perempuan yang sangat fenomenal, gagah, berani, terlibat dalam berbagai peperangan melawan kafir Qurais. Dr. Abdul Hamid bin Abdurrahman as-Suhaibani dalam buukunya “Meneladani Wanita Generasi Sahabat” sebagaimana dikutip Mi’raj Islamic News Agency, menceritakan sejumlah pejuang Islam perempuan zaman Rasululloh Muhammad Saw. Sebut saja misalkan Nusaibah binti Ka’ab, yang dikenal dengan nama Ummu Amarah dikenal sebagai simbol kepahlawanan dalam Perang Uhud. Ummu Waraqah al-Anshariyah dicatat sebagai perempuan pemberani dalam Perang Badar.
Ummu Haram binti Milhan yang merupakan Bibi Rasulullah dari persusuan juga pejuang Islam melawan kafir Quraisy. Asma binti Yazid bin Sakan adalah anak perempuan bibi Mu’adz bin Jabal, salah seorang pejuang yang memiliki peran yang sangat besar dalam meninggikan bendera Islam pada Perang Khandak, perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar. Sementara Ummu Sulaim saudara perempuan Haram binti Milhan juga terlibat aktif dalam Perang Uhud. Bersama Aisyah istri Nabi dia membawa geriba (tempat air minum). Pada Perang Hunain, ia turut terjun ke medan perang, dipinggangnya diikatkan belati, kendatipun saat itu sedang mengandung putranya yaitu Abdullah bin Abu Thalhah.
Secara historis kisah-kisah kepahlawanan dari para para sahabat perempuan pejuang Islam itu, bisa menginspirasi pembentukan datasemen khusus perempuan yang untuk saat ini sering disebut Fatser. Kelak namanyanya bisa Datasemen Ummu Haram, Datasemen Ummu Amarah atau Datasemen Ummu Sulaim, atau nama lain disesuaikan dengan nilai, ajaran dan langgam Nahdlatul Ulama. Ini membutuhkan kajian yang mendalam baik dari sisi ajaran Islam, historisitas, idiologi gerakan dan sosiologis.
Terakhir saya membaca dokumen-dokumen Nahdlatul Ulama, ternayata sejak tahun 30-an kita telah mempunyai Wanita NU yang bertugas untuk menjadi pasukan perempuan dalam keiukutsertaannya menggerakan fungsi pengamanan dan lainnya. Sekali lagi ini perlu dilacak dalam dokumen sejarah NU, dan bisa menjadi rujukan penting untuk merespon fenomena Fatser.
Tulisan ini baru sebagai pembuka wacana, dan bisa diperdalam untuk selanjutnya menjadi bahan pengambilan keputusan oleh NU, apalagi pada 31 Januari mendatanf NU memasuki hari ulang tahunnya. Gerakan Pemuda Ansor telah melaporkan fenomena Fatser kepada jajaran Tanfidziyyah dan Syriyah PBNU dan juga telah berkomunikasi intensif dengan Fatayat NU. Semoga fenomena Fatser akan mendapat solusi yang terbaik. Karena betatapun ini adalah kekayaan NU yang harus direspon di saat elemen bangsa lain mengalami keropotan untuk menggerakan anggotanya. Wallu a`lam bi al shawab.
Ruchman Basori
Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
TAGS : Fatayat sebaguna opini
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/27409/Fenomena-Fatayat-Serbaguna-NU/