Korupsi BLBI
Jakarta – Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi tak membantah penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik kepada Sjamsul Nursalim atas rekomendasi Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Hal itu disampaikan Laksamana Sukardi usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung di gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/7/2017). Sjamsul diketetahui mendapat SKL dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung pada April 2004 silam.
“Ya itu nggak ada masalah, KKSK nggak ada masalah. Itu diberikan (SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim),” ungkap Laksamana sebelum meninggalkan gedung KPK, Jakarta.
Laksamana yang merupakan menteri era Presiden Megawati Soekarnoputri itu merupakan salah satu anggota KKSK. KKSK dibentuk untuk mengawasi kerja BPPN dalam mengejar pengembalian pinjaman para obligor penerima BLBI.
KKSK saat pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim diketuai oleh Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dengan anggota Menteri Keuangan Boediono, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno serta Laksamana sendiri.
Salah satu kewenangan KKSK adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana induk penyehatan perbankan yang disusun BPPN. Kerja KKSK itu pun diperkuat dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2002, yang dikeluarkan Megawati.
Lebih lanjut dikatakan Laksamana, ada sejumlah mekanisme pembayaran tagihan utang para obligor BLBI. Menurut Laksamana, pemerintah saat itu memilih menyelesaikan permasalahan utang obligor BLBI di luar jalur hukum.
Ada tiga mekanisme yang ditawarkan pemerintah saat itu. Di antaranya Master Of Settlement And Acquisition Agreement (MSAA), Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
“Pada waktu itu (tahun 1999) juga diharapkan penyelesaian yang cepat karena perekonomian dan kondisi keuangan kita lagi parah,” tutur Laksamana.
Nah, mekanisme pembayaran tagihan utang dengan mekanisme MSAA dipilih oleh Sjamsul Nursalim. Bos PT Gajah Tunggal Tbk itu diketahui Sjamsul sebelumnya diketahui mendapat kucuran BLBI sebesar Rp 28,40 triliun. Laksamana tak membantah kebijakan MSAA merupakan keputusan politis.
“Pada waktu itu kita mengalami krisis ekonomi dan sistem peradilan kita juga masih kacau. Jadi, secara politik diputuskan out of court settlement. Makanya dibuat MSAA,” ditambahkan Laksamana.
Lebih lanjut disampaikan Laksamana, keputusan penyelesaian menarik utang para obligor BLBI di luar jalur hukum terus dilakukan dari era Habibie hingga Megawati. Bahkan untuk mengejar obligor BLBI, pemerintah ketika itu mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2002 dan TAP MPR Nomor X/MPR/2001 hingga terbitnya Inpres Nomor 8/2002.
Laksamana menyebut aturan-aturan tersebut dibuat agar presiden konsisten menerapkan mekanisme MSAA kepada para obligor BLBI. Salah satunya Sjamsul Nursalim.
“Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum dan tidak ada penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi berantakan,” ujarnya.
Setelah para obligor menyelesaikan utangnya dengan mekanisme MSAA, atau dua mekanisme lainnya itu, mereka harus diberikan kepastian hukum. Nah, kepastian hukum ini diberikan BPPN lewat SKL.
Disisnggung soal dugaan penyimpangan yang terjadi dalam pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim, Laksamana enggan berkomentar. “Itu tugas KPK. Saya nggak bisa ngomong,” pungkas Laksamana.
Dalam kasus penerbitan SKL BLBI ini, KPK baru menetapkan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Syafruddin Temenggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
BDNI merupakan salah satu bank berlikuiditas terganggu karena dampak krisis ekonomi 1998. Kemudian BDNI mengajukan pinjaman lewat skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Akan tetapi BDNI dalam perjalanannya menjadi salah satu kreditor yang menunggak. Pemerintah pada saat yang bersamaan mengeluarkan kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang lebih ringan dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002.
Berdasarkan Inpres tersebut, bank yang menjadi obligor BLBI bisa dinyatakan lunas hutangnya jika membayar lewat 30 persen uang tunai dan menyerahkan aset senilai 70 persen dari nilai hutang.
Syafruddin yang telah menjabat sebagai Ketua BPPN sejak April 2002, mengusulkan ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) agar SKL BDNI disetujui pada Mei 2002. Dimana SKL itu memuat perubahan atas proses litigasi obligor restrukturisasi oleh obligor BLBI dalam hal ini Sjamsul Nursalim kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Dari hasil restrukturisasi tersebut, sebanyak Rp 1,1 triliun sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.
Meski masih ada kewajiban obligor Rp 3,7 triliun, Namun Syafruddin Arsyad Temenggung tetap mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Syamsul Nursalim atas kewajibannya pada April 2004.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/19318/Eks-Menteri-BUMN-Akui-KKSK-Restui-Sjamsul-Dapat-SKL-BLBI/