Take a fresh look at your lifestyle.

Setya Novanto Effect

0
Setya Novanto Effect

Ketua DPR, Setya Novanto

Tony Rosyid

(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa).

Setnov ditahan, Golkar kelabakan. Jejak Setnov akan dibaca sebagai jejak Golkar. Tidak bisa dipisahkan.

Golkar bukan koruptor, tapi telah memilih seorang pimpinan yang koruptor. Secara hukum bisa mengelak, tapi tidak secara politik. Ingat nasib Demokrat? Setelah Anas Urbaningrum, Nazarudin dan Andi Malarangeng diseret KPK, suara Demokrat jeblok. Di tahun 2009 Demokrat mendapat suara 20,85%, lalu meluncur deras ke angka 10,19% di tahun 2014. Kasus Hambalang telah menjadi sunami bagi Demokrat.

Bagaimana dengan Golkar? Kita bisa lihat bagaimana Akbar Tanjung cemas, Jusuf Kalla panik, Abu Rizal Bakri kebingungan dan Agung Laksono ribut mecari plt. Para politisi senior Golkar ini minta segera diadakan munaslub. Setnov harus segera diganti sebelum kapal Golkar pecah.

Suara Golkar terus tergerus oleh kasus Setnov. Dari 14,74% di tahun 2014, sekarang anjlok menjadi 7 %. Ini artinya separo dari suara Golkar menghilang. Melihat ini, Akbar Tanjung meradang. Jika situasi ini terus dibiarkan, maka tinggal tunggu waktu, karena tidak lama lagi Golkar akan kiamat.

Kasus e-KTP, meminjam teori media, telah menciptakan “magic bullet” dan “hipodermik needle” bagi Golkar. Terjadi dentuman besar yang menebar jarum dan peluru nyasar tanpa mampu dikendalikan. Pasalnya, pertama, Setnov dianggap aktor utamanya. Kedua, Setnov merupakan ketua Golkar, sekaligus ketua DPR. Ketiga, perburuan Setnov penuh lika-liku yang dramatis.

Munaslub Golkar segera diadakan untuk menahan laju kehancuran suara partai beringin ini. Semua kader sepakat Golkar harus diselamatkan. Munaslub satu-satunya jalan. Lalu siapa calon pengganti Setnov? Abu Rizal Bakri, Agung Laksono, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung sibuk menggadang jagonya masing-masing. Pihak istana diprediksi tidak akan tinggal diam. Airlangga Hartarto kabarnya dapat restu. Bagi istana, kehilangan Golkar bisa jadi petaka di pilpres 2019.

Apakah munaslub bisa menyelamatkan suara Golkar? Jawabnya, bergantung siapa yang akan menangkap muntahan bola dari Setnov. Sosok pemimpin Golkar berikutnya jadi penentu.

Munaslub akan bisa jadi strategi penyelamatan Golkar jika pengganti Setnov adalah orang yang pertama, punya asseptabilitas tinggi. Ia mesti diterima -dan menjadi tokoh pemersatu- partai. Tidak hanya sekedar diterima partai, tokoh ini juga harus “aduhai” dan disukai publik. Jika kader yang terpilih berkarakter kontoversial, Golkar bisa kehabisan energi untuk mengatasi konflik internalnya. Kedua, punya track record bagus, terutama di mata hukum. Ia harus “Mr. Clean” tokoh yang bersih, sehingga tidak mudah disandera oleh kekuatan lain.

Saat ini, “politik sandera” sedang jadi model. Karena itu, ketua-ketua partai selayaknya adalah orang-orang yang tidak punya jejak kriminal. Ini penting supaya partai punya kendali terhadap dirinya sendiri.

Ledakan Setnov tidak hanya menghajar Golkar, PDIP juga kena serpihannya. Ada sejumlah nama, diantaranya dua kader terbaik PDIP yang disebut-sebut oleh jaksa KPK yaitu Ganjar Pranowo dan Yosanna Laoly. Dua nama beken ini “diduga” masuk dalam daftar penerima uang haram.

Ganjar “disangka” ikut menerima bancakan dana e-KTP. Besarannya lumayan: USD 520 ribu. Wow, besar sekali.

Tapi itu baru dugaan. Maksudnya “praduga tidak bersalah.” Bisa benar, bisa salah. Bergantung bukti persidangan. Variabel politik tidak boleh ikut-ikutan, supaya hukum tidak semakin berantakan. Media dan publik harus jagain KPK supaya tidak sakit perut.

Ganjar telah menolak tuduhan itu. Sikap Ganjar bisa dimengerti, karena setiap orang punya hak untuk membela diri. Justru aneh kalau Ganjar tidak membela diri. Tapi, KPK juga berhak mendengarkan Nazaruddin ketika klarifikasi di depan hakim tipikor. Kata Nazar, GP memang menolak uang USD 150.000. Itu kekecilan, kata Nazar menirukan GP. Hehe… Sebagai wakil ketua komisi, GP minta jatah sama dengan ketua. Berapa? USD 500.000. Lalu mendapat tambahan USD 20.000 dari Andi Narogong. Apakah GP benar-benar telah menerima uang itu? Lalu siapa yang benar diantara GP dan Nazaruddin? Biarlah itu diurus oleh KPK.

Ganjar adalah salah satu kader terbaik PDIP. Ia menjadi Gubernur Jawa Tengah sejak 2013. Tahun 2018 nanti masa jabatannya habis. Apakah Ganjar akan dicalonkan lagi? Disinilah letak masalahnya.

Agustus lalu elektabilitas Ganjar masih 46,1%. Apakah angka ini bisa istiqomah setelah Setnov ditahan KPK? Apalagi nama Ganjar makin santer diperbincangkan di media.

Angka 46,1 itu buruk. Sebagai incumbent, angka di bawah 50% mengindikasikan kegagalan. Setidaknya kegagalan meyakinkan publik dengan program-program yang sudah dilaksanakan. Angka ini kemungkinan akan turun jika nama Ganjar terus disebut-sebut dalam kasus Setnov.

Kabar Ganjar “disebut” terlibat dalam kasus e-KTP terpaksa harus membuat PDIP lebih ekstra hati-hati. Hingga hari ini, belum ada tanda-tanda PDIP akan mencalonkan Ganjar. Desas-desus PDIP sudah mempersiapkan Djarot Syaiful Hidayat, anak kesayangan Mega, untuk menggantikan posisi Ganjar di pilgub Jawa Tengah.

Tahun 2014, Jawa Tengah dikenal sebagai kandang banteng. Warna merah menyala di 8 dari 10 dapil. PDIP meraih kursi 31% di DPRD. Apakah PDIP masih bisa mempertahankannya? Bergantung bagaimana PDIP mampu menahan gempuran Setnov Effect.

Belum lagi kegaduhan pilgub DKI beberapa waktu lalu, dentumannya masih terasa hingga hari ini. GNPF Ulama masih terus bergerilya di berbagai wilayah melawan partai berbendera merah ini.

Selain Ganjar, ada nama Yosanna Laoly. Menhumham ini disebut-sebut telah menerima USD 84.000. Jika terbukti, ia harus bersiap duduk di kursi persidangan. Dan itu memakan waktu cukup lama.

“Dugaan” keterlibatan dua nama beken dari kader terbaik PDIP ini berpotensi mengguncang suara partai moncong putih ini. Mereka adalah pejabat aktif, posisinya sedang di puncak, dan yang paling berpengaruh keduanya adalah magnet bagi media. Opini berkaitan kasus e-KTP akan terus memburu mereka.

Selama persidangan Setnov, media tidak akan pernah berhenti menuliskan nama mereka. Apalagi jika Setnov berulah lagi, maka nama-nama yang tersangkut akan semakin hangat untuk digoreng. Tentu, ini makin berat buat PDIP.

PDIP, jika mau selamat, mesti mengikuti jejak Golkar. Minta mundur semua kadernya yang diduga terlibat. Siapkan “Mr Clean” untuk mengganti posisi mereka. Kepentingannya pertama, bisa memecah dan mengalihkan isu. Kedua, menciptakan kesan bahwa di PDIP masih banyak kader yang bagus. Dengan begitu, 2018 harapan akan kembali.

Apakah ini mungkin dilakukan? Takdirnya ada di tangan Megawati. Di PDIP tidak ada satu pun kader yang bisa membantah fatwa ketua umum.

Serpihan Setnov Effeck juga akan menyasar partai-partai lain, salah satunya adalah Demokrat. Ada sejumlah kader dan mantan kader Demokrat ikut disebut namanya oleh jaksa KPK, seperti Jafar Hafsah, Khatibul Umam Wiranu, Anas Urbaningrum danTaufik Effendi. Tapi, gejolaknya tidak akan sebesar Golkar dan PDIP. Mereka bukan lagi tokoh-tokoh sentral di partainya. Demikian juga dengan nama-nama dari partai lainya.

Yang pasti, dentuman “Setnov effect” akan berpengaruh tidak saja terhadap pilkada 2018, tapi juga konstalasi pilpres 2019.

TAGS : Opini setya novanto kasus ektp

This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin

Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/25168/Setya-Novanto-Effect/

Leave A Reply

Your email address will not be published.